Om Swastyastu,
Rahajeng ngemargiang pula-palining Piodalan Jagat Galungan lan Kuningan.
Kalau kita fokus memperhatikan Hari Suci Galungan dan Kuningan ini kita sebagai umat Hindu tidak sekedar merayakan Hari Raya saja ....ternyata ada prosesnya ya khan? Nah hal ini menurut Ibu Sukeni prosessi Galungan dan Kuningan maupun Hari-hari Suci lainnya adalah tuntunan suci untuk selalu melakukan kebaikan karena dalam rangka melaksanakan hari suci wajib tidak boleh dilakukan tanpa ke iklasan contohnya:
Seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan ini ada rangkaiannya yang wajib dipersiapkan mulai dari Tumpek Wariga sebagai berikut:
TUMPEK WARIGA
Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari
sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja
Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang
berguna bagi kehidupan manusia.
ANGGARA KASIH JULUNGWANGI
Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum
Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di
Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya
hari Galungan.
BUDA PON SUNGSANG
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan.
Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung.
Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis
berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma).
Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya
ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan
adharma.
Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai
Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat
suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.
SUGIAN JAWA
Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan.
Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung,
canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung
(alam semesta).
SUGIAN BALI
Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan.
Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung,
canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit
(diri sendiri).
PENYEKEBAN
Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan.
Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma.
Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia
yang ingin berperang atau berkelahi.
Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar
dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan
dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
PENYAJAAN
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan.
Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk
berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah
sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.
Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar
terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang
(bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
PENAMPAHAN
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan.
Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi
untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta
Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa.
Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara
Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta
Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).
Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau
bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas
(malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan
sifat-sifat malas manusia.
Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten
pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru
(bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang
dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan
penjor sebagai berikut:
1. lamak
simbol Reg Weda,
2. bakang-bakang
simbol Atarwa Weda,
3. tamiang
simbol Sama Weda, dan
4. sampian
simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan
Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan
dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih
kuning.
Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara
pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
GALUNGAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan
manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri.
Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan
di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang
Widhi atas anugrah-Nya itu.
MANIS GALUNGAN
Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan,
melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk
mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas
kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa
Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita
seterusnya.
Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis
Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa
Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara:
Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri
Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
PEMARIDAN GURU
Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan
merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata
Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
ULIHAN
Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan,
Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah
Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.
PEMACEKAN AGUNG
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan.
Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu
manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
PENAMPAHAN KUNINGAN
Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia
bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan
terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri
Purusha (Sisa, Sada Siwa, Parama Siwa).
KUNINGAN
Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan.
Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari.
Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara
nugrahanya berupa kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan
dari perbuatan-perbuatan adharma.
Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai
pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka mengikuti
jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan.
Selain itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai
tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.
PEGAT UWAKAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah
Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya
berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai
melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata
nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar